Seorang teman pernah bertanya padaku kenapa aku suka sekali dengan cerita sedih, cerita yang mengandung tragedi, cerita yang penuh dengan depresi. Kepadanya aku menjawab bahwa hidup jauh lebih menarik bila ada tragedi. Shakespeare tidak akan terkenal kalau tidak banyak menulis cerita tentang tragedi. Kisah cinta yang tragis antara Romeo dan Juliet, tragedi Othello, cerita tentang cinta, kecemburuan, dan penghianatan. Semua itu mengantarkan Shakespeare menuju tangga ketenaran. Titanic tidak akan menjadi film box office dan melegenda kalau Jack tidak meninggal. Jauh di lubuk hatinya orang menyukai tragedi, mencintainya, terlebih lagi kalau itu terjadi pada orang lain bukan dirinya sendiri supaya mereka bisa mengasihani orang lain dan merasa dirinya jauh lebih beruntung dari mereka. Dan aku, aku seperti kebanyakan orang lainnya merasa perlu melihat tragedi yang dialami oleh orang lain supaya bisa berkata untunglah hidupku tidak setragis itu.
CERITA SEORANG TEMAN
00.51 |
Namun sejujurnya alasan kenapa aku suka dengan cerita yang penuh depresi dan kesedihan adalah supaya aku bisa menangis, menangisi hidupku. Karena tanpa cerita sedih itu aku tidak bisa menangisi hidupku. Tanpa cerita-cerita itu aku tidak akan punya alasan untuk menangisi hidupku.
Alasan kenapa aku tidak bisa menangisi hidupku karena kurasa semua orang yang mengenalku atau pernah mengenalku akan berkata aku menjalani hidup yang.. ah, apa kata yang tepat untuk mengungkapkannya? Bukan sempurna.. bukan, karena tidak ada kesempurnaan di dunia ini, tidak ada kesempurnaan yang diperbolehkan ada di dunia ini. Biasa? Ah, itu mungkin kata yang tepat. Hidup yang biasa. Hidup yang tidak perlu ditangisi, ah, mungkin lebih tepat jika aku bilang hidup yang seharusnya tidak perlu ditangisi.
Orang diperbolehkan menangis meratapi hidupnya jika hidupnya adalah tragedi. Seorang anak dari keluarga yang broken-home akan lebih dimaklumi jika memiliki peringai yang sedikit brutal dan berjiwa pemberontak. Dia sah-sah saja membenci dunia, membenci hidupnya karena hidupnya adalah tragedi. Bayangkan saja tiap hari harus mendengar ayah ibunya saling memaki, saling melempar barang, saling menyakiti, tentu tak akan ada yang menyalahkannya jika dia menangis meratapi hidupnya. Itu memang sewajarnya terjadi. Tapi jika dia tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan cinta, keluarga yang bahagia, apa yang harus dia ratapi?
Orang biasa mungkin berkata aku gila karena meratapi hidupku yang biasa ini. Orang beriman mungkin akan menyebutku tak tahu bersyukur. Orang dengan tragedi dalam hidupnya mungkin hanya akan memandangku dengan sinis. Aku yang selama 23 tahun hidup tanpa tragedi tiba-tiba merasa berhak untuk mengangisi hidup.
Cerita ini adalah tentang kehidupan yang biasa. Tidak menarik? Mungkin.. toh bagaimanapun juga yang biasa-biasa selalu tidak pernah bisa menarik perhatian. Cerita membutuhkan faktor penarik. Dan apa yang menarik orang pastilah sesuatu yang luar biasa. Apakah cerita ini nantinya akan berubah menjadi tragedi? Aku sendiri tidak tahu. Yang pasti aku merasa perlu bercerita. Merasa perlu meratapi hidupku yang biasa ini.
Selalu dalam sebuah cerita, perkenalan tokoh biasanya dimulai dengan nama. Walaupun Shakespeare (Bukan, aku sama sekali bukan penggemar Shakespeare Cuma kebetulan dia punya banyak sekali hal yang bisa dikutip), apalah arti sebuah nama, tapi tetap saja kita tak bisa memulai cerita tanpa memberikan nama kepada tokohnya bukan?
Sebut namaku Nina. Cuma Nina. Atau mungkin seharusnya aku bilang cukup mengenalku dengan nama Nina. Apakah ini nama asli atau samaran, aku memilih untuk menggunakan hak-ku untuk diam. Lagipula kalau cerita berdasarkan kisah nyata, bukankah demi melindungi kepentingan diriku dan orang-orang yang berhubungan dengan diriku akan jauh lebih baik bila aku tidak berkata apa-apa?
Sekali lagi namaku Nina. Aku perempuan berusia 23 tahun. Lulusan sebuah Universitas Negeri dan memegang gelar Sarjana Teknik. Mengenai jurusannya, tak perlu aku mengumbar di sini, toh aku juga tidak sedang wawancara kerja. Pernah bekerja pada sebuah perusahaan swasta dengan gaji di atas 5 juta per bulan. Banyak? Entahlah.. Yang pasti aku merasa sudah cukup untuk membiayai hidupku.
Aku anak pertama dari pasangan suami istri yang saling mencintai. Atau setidaknya itulah yang aku lihat di mata kedua orang tuaku. Tumbuh dengan limpahan kasih sayang. Dimanja? Tentu saja. Apapun yang kuminta pasti selalu dipenuhi. Dilindungi? Kau bisa lihat dari tatapan mata ayahku setiap kali ada teman lelaki yang datang berkunjung ke rumahku. Dicintai? Lihatlah dari cara ayah ibuku memandangku, kau hanya akan melihat cinta.
Lahir sebagai anak tunggal tidak pernah membuatku merasa kesepian. Karena walaupun aku anak tunggal, rumahku tidak pernah sepi dari keramaian. Selalu penuh dengan orang, dengan tawa. Tentu saja pada suatu ketika ada juga kesedihan dan tangisan, tapi itu biasanya tidak pernah berlangsung lama. Ayah dan ibuku memiliki kebiasaan unik yang sampai sekarang masih dilakukan, yaitu membawa anak dari entah saudara atau tetangga mereka dari kampung dan merawatnya bagai anak sendiri. Bukan, bukan adopsi karena tak pernah ada surat resmi. Ayahku menyebutnya memberiku teman bermain supaya aku tidak kesepian. Aku pernah punya kakak, saudara sebaya, dan adik-adik. Walau sekarang kebanyakan dari mereka sudah hidup mandiri, tapi kami masih selalu merasa sebagai satu keluarga.
Ibuku pernah bilang aku ini anak yang cerdas. Dari SD sampai SMA aku selalu menduduki rangking 3 besar di sekolah. Bahkan ketika SD selama 6 tahun aku sekolah tak pernah sekalipun aku tidak jadi juara kelas. Kuliah pun aku berhasil meraih predikat cumlaude. Walaupun begitu, bukan berarti aku tipikal kutu buku yang tidak punya teman selain diktat pelajaran dan tidak tau tempat bergaul kecuali perpustakaan. Aku bersosialisasi dan dengan bangga aku bilang aku punya sahabat-sahabat yang aku cintai. Sahabat yang ada ketika masa sulit dan ada ketika aku berbagi kebahagiaan.
Cinta? Aku pernah mengalaminya. Debaran pertama, tangisan pertama, manis dan getirnya pun masih jelas terasa. Memang untuk sekarang hatiku ini tak ada yang punya. Istilah gaulnya Jomblo. Tapi jangan salah tanggap, hal ini sama sekali tidak pernah membuatku sedih. Lagipula aku bukan tipikal perempuan yang butuh menggandeng lelaki kemana-mana, bukan pula perempuan yang membutuhkan lengan maskulin untuk menjagaku 24 jam (yang sudah dilakukan oleh ayahku dan kakak lelakiku), pundak untuk bersandar (sudah kumiliki pada sahabat-sahabatku) dan segala macam yang berbau lelaki di dekatku. Aku perempuan mandiri dan aku bangga mengakuinya. Lagipula bukankah sudah kubilang di dunia ini tak ada kesempurnaan yang diperbolehkan?
Sudah mulai bosan dengan cerita tentang hidupku yang biasa? Ingin sesuatu yang dramatis? Uh oh.. tidak ada yang dramatis dalam hidupku. Hidupku ya biasa-biasa saja. Bangun pagi, sarapan dengan keluarga sambil melempar canda, berangkat kerja, bekerja, pulang kerja dan sesekali menyempatkan diri sedikit bersosialisasi, pulang ke rumah makan malam menikmati kehangatan keluarga, lalu tidur untuk bangun di keesokan harinya.
Begitu terus.. terus berulang sampai suatu hari.. ya.. suatu hari. Mulai mengharap ada sesuatu yang luar biasa? Sayangnya sepertinya aku harus membuat kalian kecewa. Tidak ada yang istimewa hanya suatu hari aku memutuskan untuk mengiris pergelangan tanganku saja. Entah mungkin ini hanya spontanitas atau mungkin aku memang tidak benar-benar ingin mati, aku lupa mengunci pintu kamar. Dan entah itu kebetulan atau kalau kata orang beriman Tuhan masih mengharapkanku lebih lama berada di dunia fananya ini, ibuku melihatku tak lama setelah aku memutuskan mengiris nadiku (bahkan mungkin aku samar-samar masih mendengar jeritan histerisnya) dan memutuskan membawaku dengan segera ke rumah sakit.
Untunglah (?) tindakan sigap ibuku itu berhasil menyelamatkan nyawaku. Dan hidup terus berlanjut seperti biasa. Yah, mungkin selama beberapa hari itu ada sedikit yang berubah dalam rutinitas hidupku. Maklum harus mendekam di rumah sakit.
Keluarga dan teman-teman yang peduli semuat terus bertanya alasan kenapa aku hendak bunuh diri. Hmm.. Bunuh diri? Sebenarnya hal itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku hanya mengiris nadiku bukannya berencana bunuh diri. Yah, bukannya aku tidak tahu apa akibatnya kalau aku mengiris nadiku. Cuma, pada saat itu entah kenapa aku hanya ingin melakukannya. Tak ada alasan, tak ada maksud tersembunyi.. hanya, spontanitas.
Tak ada yang mau percaya dengan penjelasanku. Kata mereka tidak ada orang yang cukup bodoh untuk bunuh diri tanpa alasan. Pasti, pasti ada alasan untuk apa yang aku lakukan. Ayahku dengan marah bertanya apa yang salah dengan hidupku sampai-sampai aku hendak mengakhirinya. Ibuku dengan menangis bertanya padaku apa yang salah dengan dirinya sampai aku tega ingin meninggalkannya dengan cara seperti ini. Karena aku hanya menjawab tidak ada alasan apa-apa entah kenapa mereka sepertinya kecewa. Apakah memang harus ada alasan yang tragis untuk tindakanku ini? Karena sejujurnya seperti yang aku katakan sebelumnya hidupku biasa.
Ketika mendengar bahwa aku mencoba bunuh diri tanpa alasan yang jelas, entah kenapa sahabat-sahabatku memutuskan untuk mencarikan alasan yang masuk akal untuk tindakanku itu. Mereka mulai bertanya-tanya apakah aku tidak bahagia? Apakah aku merasa tertekan? Apakah pekerjaanku membuatku depresi? Apakah cinta membuat hatiku merana? Segala macam ketragisan hidup dibuat daftar untukku supaya aku bisa memilih salah satu untuk aku jadikan alasan. Namun dari semua alasan itu aku hanya bisa menggeleng lemah dan berkata ” Aku tak tahu kenapa aku mengiris nadiku.” Lalu mereka semua terdiam dan mulai bertanya-tanya apa ketragisan yang aku alami sehingga aku jadi gila.
Kemudian ayah ibuku memintaku untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Dari beberapa sesi yang penuh dengan tanya jawab, keharusan bercerita, diskusi, perdebatan, dan pandangan penuh selidik, akhirnya dia memutuskan kalau aku hanya bosan dengan hidupku. Kutanya pada diriku sendiri apakah aku bosan? Entahlah.. mungkin jauh di lubuk hatiku aku merasa bosan dengan hidupku yang biasa ini. Lagipula bukankah dia ahlinya? Kalau sang ahli bilang seperti itu mengapa pula aku harus menyangkal?
Lalu seperti robot yang telah terprogram aku berkata pada keluarga dan teman-temanku alasan kenapa aku mengiris nadiku. Yah aku lebih suka menyebut kejadian itu sebagai mengiris nadi daripada menyebutnya sebagai percobaan bunuh diri. Karena seperti yang sudah kubilang sebelumnya aku tidak pernah berniat untuk bunuh diri. Ups.. tunggu sebentar.. maaf, maaf.. sepertinya aku harus menarik beberapa kalimat sebelumnya karena, seperti kata psikologku kalau aku tidak akan sembuh kalau aku tak bisa mengakui kalau aku memang mencoba bunuh diri. Walaupun sebenarnya aku merasa aku tidak pernah merasa aku sakit.. tapi demi kelancaran cerita ini sebaiknya aku mengakhiri semua penyangkalan ini dan mulai menerima kenyataan kalau aku sakit.
Oke, kembali ke awal cerita, akhirnya aku mengakui kepada semua orang kalau aku memang berusaha bunuh diri. Seperti sebuah film kuno yang dapat ditebak alur ceritanya, mereka mendengarnya dengan ekspresi terkejut, kasihan, marah (?), takut, dsb. Aku tak habis pikir kenapa pula mereka harus bertingkah seperti itu mendengar pengakuanku, toh selama ini bukannya mereka sendiri yang mencoba meyakinkan aku bahwa apa yang aku lakukan itu dinamakan percobaan bunuh diri. Aku berkata pada diriku sendiri, ”Oke Nina, the show must go on. Lanjutkan ceritanya seperti yang dr.X bilang padamu.”
Pertunjukan jauh lebih menarik ketika aku melanjutkan ceritaku yang mengutip kata-kata psikologku, bahkan kurasa aku juga menyampaikannya dengan nada sedikit didramatisir seperti yang dilakukan oleh psikologku itu. Ketika terungkap kalau alasan mengapa aku mencoba bunuh diri (ugh.. aku benci kata itu) adalah karena aku bosan dengan hidupku, suasana mulai memanas dengan segala macam komentar dan perdebatan. Lalu muncul segala macam reaksi terhadapku. Ada yang memutuskan persahabatan, yah.. siapa pula yang ingin bersahabat dengan orang gila yang mencoba mengakhiri hidupnya hanya karena bosan. Ada yang mencoba menolong dengan menawarkan segala macam hal menarik yang bisa aku lakukan untuk mengatasi kebosananku. Ada yang memberikan tausiah mengenai pentingnya bersyukur, dan masih banyak lagi perhatian yang aku terima.
Orang tuaku menanyakan apa yang aku ingin lakukan dan menyuruhku cuti selama beberapa minggu untuk merenungkan tentang hidupku. Akhirnya aku menuruti nasihat mereka dan aku malah jadi bingung sendiri. Aku sudah terbiasa dengan kehidupanku yang biasa, namun tentu saja bukan berarti aku tak bisa mengubahnya. Setelah cutiku habis aku masih belum tahu apa yang aku inginkan. Dan ketika aku berkata pada orang tuaku kalau aku ingin berhenti bekerja dan berkonsentrasi untuk menemukan apa yang aku inginkan untuk hidupku, mereka menyetujuinya tanpa sekalipun mendebat.
Lalu sekarang aku menjalani hidupku yang biasa ini dengan bangun entah pada jam berapa, tetap makan tiga kali sehari, berfikir mengenai masa depan, browsing-browsing internet, chatting, membaca segala macam genre novel (tentu saja yang kusuka adalah cerita tentang tragedi), menonton film-film tragedi, dan banyak hal tak berguna lain yang aku lakukan. Sedikit lebih variatif dari pada hidupku yang dulu. Lalu apakah aku tidak merasa bosan? Entahlah.. kan sejak awal aku berkata kalau aku bahkan tak tahu kalau aku bosan menjalani hidupku yang biasa.
Nah itulah cerita tentang hidupku. Kurasa aku harus mengakhiri cerita tentang hidupku yang biasa itu di sini. Panjang dan membosankan kah? Kalau begitu aku minta maaf. Aku hanya ingin bercerita saja.. sama seperti ketika aku hanya ingin mengiris nadiku, ups,, mencoba bunuh diri (sepertinya memang harus membiasakan diri dengan kata ini, jika aku ingin sembuh..). Hanya ingin melakukannya saja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar